Mental Models: Kenapa Ekspektasi Mempengaruhi User Behaviour

“Pernahkan anda mengunjungi sebuah minimarket, dimana pada pintu masuknya terdapat tulisan untuk Tarik (Pull) atau Dorong (Push)? Atau malah menemukan pintu dengan gagang pintu tanpa tulisan?”
“Apa yang anda pikirkan jika menemui pintu bergagang tanpa tulisan? Didorong atau Ditarik?”
Model mental merupakan konsep, kerangka kerja, atau pandangan dunia yang tertanam di pikiran individu dalam rangka untuk membantu dirinya menafsirkan dunia dan memahami hubungan antar hal-hal tersebut. Sebuah model mental dapat dikatakan juga sebagai representasi bagaimana dunia bekerja. Wikipedia
Singkatnya, Mental Model adalah bagaimana sesuatu berfungsi/bekerja menurut indvidu. Seperti cenderung kita yang menarik pintu dengan gagang seperti gambar diatas walaupun tanpa adanya tulisan/arahan. Mental model tidak selalu merupakan fakta, namun berlandaskan rasa percaya dan pengalaman individu tersebut.
Dalam hal produk digital, kita perlu menemukan titik tengah antara “Apa yang User percaya” dan “Bagaimana Produk kita sebenarnya bekerja” dan memperluas titik tersebut supaya produk kita tidak membingungkan User.
Ayo kita simak halaman website berikut:
Andi ingin melakukan pembelian di salah satu online store yang menyediakan produk Fashion. Andi ingin mengetahui kebijakan retur barang sebelum membeli, dengan kekhawatiran jika produk tersebut tidak sesuai dengan kebutuhannya. Untung saja, websitenya menyediakan fitur chat untuk mengakomodir kebutuhan Andi. Setelah di-chat:
Pertanyaan Andi dibalas oleh Bot, dan harus menunggu beberapa jam untuk mengetahui jawabannya, padahal Andi berekspektasi bahwa “Yang-Menjawab-Pertanyaan” sedang dalam status aktif.
“Apa yang anda rasakan ketika berada di posisi Andi?”
Secara Psychology, User berharap interaksi chat diatas sama dengan interaksi secara langsung. Dimana obrolan terjadi secara real-time dan directly.
Contoh diatas merupakan metode yang salah dengan memaksakan ekspektasi user ke dalam fitur produk. Sedangkan yang diperlukan untuk menemukan titik tengah antara “Apa yang User percaya” dan “Bagaimana Produk bekerja” adalah sebaliknya yaitu dengan mendekatkan/menyesuaikan cara kerja produk dengan ekspektasi user.
User lebih menyukai rasa familiar. Menggunakan kata ‘Shoping Cart’ dibanding ‘Pre-payment’ & ‘Check-out’ dibanding ‘Payment’, menghadirkan pengalaman berbelanja secara langsung kepada user.
Saat memperkenalkan fitur atau produk baru, coba gunakan pola dan visual yang sudah ada untuk membantu user lebih cepat memahami. Jika diharuskan membuat sesuatu yang asing, bungkuslah dengan sesuatu yang familier agar lebih membantu proses pengenalan tersebut.
Misalnya ketika Apple pertama kali memperkenalkan ‘Aplikasi Notes’, interface yang digunakan benar-benar menyerupai buku catatan secara fisik. Barulah beberapa versi kemudian, ketika penggunanya sudah terbiasa menggunakan aplikasi ini interfacenya diperbarui menjadi lebih modern.
Hal ini disebut dengan Skeuomorphism, yaitu dimana objek digital meniru bentuk suatu benda nyata dengan tujuan membantu proses transisi pengenalan produk baru.
Jika produk merupakan sebuah inovasi baru, kemungkinan akan juga mengenalkan konsep-konsep baru yang asing ke penggunanya. Proses pengenalan konsep tersebut mengharuskan user melakukan Mental Model Migration dari Mental Model mereka yang lama.
Lalu bagaimana mengetahui Mental Model pengguna produk kita?
Nantikan Artikel selanjutnya dari saya…. Terima Kasih sudah membaca
udah di like zan